Jika kamu aktif bersosial media, besar kemungkinan kamu sudah melihat tagar #KaburAjaDulu dengan konten-kontennya yang berisi keinginan maupun ajakan untuk meninggalkan Indonesia dan pergi berkarir di luar negeri. Tidak ada yang salah dengan tagar ini. Aku sendiri sering menyampaikan kepada orang-orang dekatku untuk pergi merantau ke luar negeri. Oh ya, aku juga alumni #KaburAjaDulu, maaf, maksudku #MerantauAjaDulu 😌
Pada tulisan ini aku akan membahas mengapa aku lebih suka #MerantauAjaDulu:
Berdasarkan KBBI, kata kabur memiliki makna yang negatif, yaitu meninggalkan tugas tanpa pamit; menghilang. Dalam sehari-hari, kita sering menggunakannya ketika kita melarikan diri dari sesuatu yang tidak kita suka.
Hampir setiap hari aku menggunakan kata kabur bersama anakku ketika melihat ada asap rokok di sekitar kami. “Kabuurr, ada asap rokok!”, kataku sambil berlari menggendong anakku yang baru berusia 1 tahun. Kalau saya sedang malas, saya hanya akan kabur, tetapi beberapa kali saya mengingatkan orang-orang untuk tidak merokok di tempat umum.
#KaburAjaDulu adalah gejala rasa frustasi terhadap kondisi di berbagai sektor di Indonesia. Namun, yang harus digarisbawahi adalah bahwa ini semua adalah gejala, dan akar-akar masalahnya sendiri sangatlah kompleks, masalah struktural yang sangat sulit diperbaiki. Beberapa dari kita mungkin telah mencoba memperbaikinya, tapi ya, gitu deh 🤷♂️
Di satu sisi, #KaburAjaDulu hadir menjadi solusi masuk akal untuk kemaslahatan hidup yang lebih baik. Kita cuma hidup satu kali, kita tidak bisa memilih dimana kita dilahirkan, tapi kita bisa memilih mau memperjuangkan hidup yang seperti apa, dimana, bagaimana, dan dengan siapa.
Akan tetapi, sampai sekarang, aku masih merasa kurang sreg dengan penggunaan kata kabur pada konteks ini. Seolah-olah kita kalah dan terpaksa pergi. Padahal kita tidak kalah. Kita dengan sadar memilih untuk pergi demi kehidupan yang lebih baik. Kita tidak melarikan diri, kita memilih untuk pergi. Kita tidak kabur, kita merantau.
Rantau memiliki makna dan filosofi yang lebih dalam. Menurutku, tidak cukup hanya dengan membaca KBBI atau Wikipedia untuk memahami maknanya. Tetapi, aku selalu merasa kata rantau memiliki aura yang lebih kuat dan lebih positif. Penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari juga membawa suasana yang lebih hangat.
Merantau telah menjadi bagian dari budaya Indonesia sejak zaman dulu. Bahkan di beberapa daerah, merantau menjadi sebuah ritual. Mereka yang pergi akan didoakan dan diantar oleh keluarga dan tetangga. Percayalah, mereka yang tinggal akan merasa bangga karena memiliki keluarga yang merantau. Dan perlu diingat bahwa orang yang meninggalkan maupun ditinggalkan memiliki perjuangannya masing-masing — dan perasaan rindu yang sama kuatnya.
Kata merantau jauh lebih berat, dan ini membuatnya lebih berarti. Kata merantau memiliki martabat yang lebih tinggi.
Kamu lebih suka dianggap sebagai perantau atau pelarian?
Perlu aku akui juga bahwa banyak yang merantau karena terpaksa. Tetapi, dengan menggunakan kata rantau kita akan lebih mudah membangun pola pikir dan suasana yang lebih positif. Kata yang kita pakai sehari-hari memiliki kekuatan yang mampu mengubah bagaimana kita melihat masalah dalam hidup ini.
Dengan menggunakan kata merantau dibandingkan kabur, kita tidak lagi merasa terpaksa melarikan diri dari sesuatu yang buruk, melainkan kita memilih dengan sadar untuk pergi demi kehidupan yang lebih baik. Keduanya terdengar mirip, tapi sebenarnya sangat berbeda.
Merantau akan membuat kita lebih fokus pada hal-hal baik yang akan kita dapatkan di tempat baru, bukan pada hal-hal buruk yang kita tinggalkan.
Merantau akan membuat kita lebih bersyukur terhadap hal-hal baik yang kita miliki di tempat lama, maupun di tempat baru.
Merantau juga membuat kita menjadi lebih baik dan lebih kuat, bukan hanya untuk diri kita sendiri, tapi untuk mereka yang kita tinggalkan.
Akhir kata, merantaulah. Merantaulah ke tempat yang lebih baik. Merantaulah menjadi versi terbaik dirimu. Dan ingatlah selalu kawan, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Salam perjuangan.